Kisah Keperkasaan Limonu
Cerita Rakyat dari Gorontalo

Malam itu, saat Limonu sedang membersihkan kerisnya, ibunya berkata,
“Nak, bagaimana perkembangan latihan silatmu belakangan ini? Apakah
sekarang kau sudah mahir?”
Limonu menoleh, agak janggal baginya mendengar sang ibu bertanya demikian. “Sudah lumayan, Bu. Ada apa memangnya?” tanya Limonu.
Ibunya menghela napas, “Begini Nak. Ibu ingin bercerita padamu tentang kematian ayah dan kakakmu.”
Limonu langsung menghentikan kegiatannya lalu menyimpan kerisnya ke
dalam kotak. Ia ingin mendengar cerita ibunya yang terjadi sebelum ia
lahir.
“Dulu, ayahmu adalah penguasa di daerah ini. Kau tahu kan
benteng-benteng di sekitar rumah ini? Semua itu warisan dari ayahmu.
Dulu ia bercita-cita akan memperluas daerah kekuasaan sampai ke utara.
Ibu sudah berusaha mencegahnya, tapi ayahmu tetap keras kepala. Ayahmu
bahkan mengangkat kakakmu Pahu untuk menjadi pemimpin Pasukan Berani
Mati. Lalu mereka menyerang daerah utara.”
Limonu menyimak cerita ibunya dengan saksama, “Lalu apa yang terjadi,Bu?”
“Mereka gagal. Pemimpin daerah utara ternyata lebih hebat dari
ayahmu. Ia tewas, dan ketika kakakmu melawan, orang itu juga
membunuhnya,” cerita ibunya sambil terisak.
Darah Limonu mendidih, “Siapa yang membunuh Kakak dan Ayah, Bu? Aku harus menuntut balas,”
Ibunya menjawab, “Ibu harap kau tak terkejut. Saat itu pemimpin
daerah utara adalah Hemuto. Dia orang yang membunuh ayah dan kakakmu.
Setelah membunuh mereka, ia mengambil alih wilayah barat yang sebeIumnya
dikuasai oleh ayahmu.”
Limonu syok. Ia tak menyangka, Hemuto, guru yang selama ini ia
hormati, guru yang telah menurunkan ilmu silat kepadanya, adalah
pembunuh ayahnya.
“Tidak mungkin, Bu! Itu tidak benar! Mengapa guru yang kuhormati itu
membunuh Ayah?” tanya Limonu sambil menggeleng-gelengkan kepala tak
percaya.
Setelah diam beberapa saat, ibunya bertanya, “Apa yang akan kau Iakukan, Nak?”
“Meski Hemuto adalah guruku, aku tetap akan menuntut balas. Apalagi,
ia juga telah merebut wilayah kekuasaan Ayah. Namun, aku akan tetap
menghormatinya sebagai guru. Aku akan memintanya mengembalikan wilayah
tersebut. Jika ia bersedia, aku tidak akan menuntut balas atas kematian
Ayah dan Kakak,” jawab Limonu.
Sejenak ibunya terdiam mendengar jawaban anaknya, lalu berkata, “Jika
demikian, kau harus mempersiapkan pasukanmu untuk melawan Hemuto.”
Setelah pengakuan itu, Limonu sibuk mempersiapkan Pasukan Berani
Mati. Ia melatih mereka siang dan malam. Selain itu, pasukan itu juga ia
kerahkan untuk membantu penduduk di wilayah barat dan utara. Karena
kebaikannya penduduk di kedua wilayah tersebut mencintai Limonu dan
pasukannya.
Malam itu adalah pertemuan para pendekar silat dari seluruh daerah,
yang dipimpin oleh Hemuto. Di tengah-tengah pertemuan, Limonu menyela,
“Maaf, Guru. Apa yang seharusnya kulakukan pada seseorang yang membunuh
ayah dan kakakku, tapi ia juga seorang yang sangat kuhormati? Apakah aku
harus menuntut balas padanya?”
Mendengar pertanyaan murid yang dicintainya itu, sadarlah ia kalau
Limonu hendak menuntut balas atas kematian ayah dan kakaknya. Hemuto
balik bertanya, “Jika aku katakan ya, apa yang akan kau lakukan?”
“Jika demikian, bersiaplah Guru untuk bertempur denganku! Tapi, jika
Guru bersedia mengembalikan wilayah barat yang dulu merupakan tanah
kekuasaan ayahku, aku akan berusaha melupakan semua dendam ini,” jawab
Limonu.
“Kurang ajar! Kau anak kemarin sore sudah berani menantangku?” teriak Hemuto sambil menghunus pedangnga.
Malam itu, benteng Otanaha menjadi saksi atas pertempuran antara
Limonu dan gurunya, Hemuto. Berkat pasukannya dan penduduk yang
mendukungnya, Limonu berhasil memenangkan pertarungan. Sepertinya Hemuto
lupa kalau selama ini ia telah mendidik Limonu dengan baik. Seluruh
ilmu silatnga telah ia turunkan pada Limonu. Tak heran, Limonu mampu
mengalahkannya.
Hemuto dan pasukannya melarikan diri ke utara. Ia malu, karena
kejadian tersebut penduduk menjadi tidak menghargainya. Apalagi sekarang
Limonu menjadi penguasa wilayah barat. Penduduk setempat merasa
kepemimpinan Limonu jauh lebih baik daripada Hemuto.
Tak mau tinggal diam, Hemuto pun merancang serangan bolas dendam.
Dengan bantuan orang-orang yang masih setia padanya, Hemuto menyerang
wilayah barat.
Tapi serangan tersebut dapat dipatahkan. Hemuto berusaha menyerang
kembali pada satu kesempatan lain dengan cara mengepung benteng. Namun,
Limonu bersama rakyatnya menggulingkan batu-batu dan pasukannya sambil
menyerukan “Dembenga! Dembenga timongoliyo!”, yang artinya “Lempar!
Lempari mereka!”
Sebagian besar pasukan Hemuto tewas, tapi Hemuto berhasil melarikan
diri ke wilayah utara. Sekarang, tempat pertempuran itu dinamai Desa
Dembe yang berasal dari kata dembenga.
Pesan moral : Kisah Keperkasaan Limonu untukmu adalah Balas dendam bukanlah tindakan yang terpuji. Jika temanmu berbuat salah, berusahalah memaatkan dan berdaniai dengannya.